POKÉMON: DETECTIVE PIKACHU (2019)
Pokémon: Detective Pikachu adalah sepenuhnya fan service. Artinya, jika bukan penggemar, mungkin karya penyutradaraan Rob Letterman (Shark Tale, Monsters vs. Aliens, Goosebumps) ini bakal terasa membosankan. Tapi jika seperti saya, yang menghabiskan masa kecil mengoleksi VCD asli seharga lima belas ribu rupiah, terkejut menyaksikan evolusi Magikarp menjadi Gyarados atau saat Psyduck pertama kali pamer kekuatan, setidaknya anda bakal terhibur, bernostalgia, sambil tetap menyadari setumpuk kekurangannnya.
Diadaptasi dari gim Nintendo 3DS berjudul sama, Pokémon: Detective Pikachu berkisah tentang pemuda bernama Tim Goodman (Justice Smith), mantan pelatih pokémon yang kini hidup sendirian menjalani pekerjaan membosankan. Sampai ia mendengar kabar kematian sang ayah, Harry Goodman, akibat kecelakaan kala bertugas (dia berprofesi sebagai polisi). Hubungan keduanya sendiri renggang setelah Tim menolak tinggal bersama Harry pasca sang ibu meninggal ketika usianya baru 11 tahun.
Begitu tiba di apartemen Harry, Tim justru bertemu Pikachu (Ryan Reynolds), yang anehnnya, bisa ia pahami perkataannya. Pikachu tersebut rupanya merupakan partner Harry. Dia percaya sang detektif masih hidup, dan meminta Tim membantu investigasinya, yang melibatkan berbagai misteri, termasuk serangan pokémon terkuat ciptaan manusia, Mewtwo.
Filmnya berlatar di Ryme City, sebuah metropolitan di mana manusia dan pokémon hidup harmonis dan setara, berkat Howard Clifford (Bill Nighy) sang pebisnis visioner, yang memenuhi segala deskripsi sebagai “korporat jenius yang menyimpan rencana jahat”. Penokohan Howard, juga kisah mengenai “ayah yang kurang akrab namun sejatinya mencintai sang anak”, menunjukkan bahwa Pokémon: Detective Pikachu dibangun atas pondasi klise. Tapi di antaranya, terselip banyak kelokan yang sanggup menggiring plotnya agar terus berjalan sekaligus membuat penonton meragukan tebakan mereka.
Sayang, elemen misterinya semakin kusut seiring waktu berjalan, dikarenakan para penulis naskahnya cuma kompeten melontarkan pertanyaan, namun tidak demikian kala harus mengeksplorasi kemudian menjawabnya secara rapi. Akhirnya, Pokémon: Detective Pikachu gagal menjadi noir yang mengesankan, tapi bukankah hal itu bisa diduga? Diniati sebagai pembuka franchise, intensi utama film ini tentu menggaet kepercayaan penggemar. Caranya? Apalagi kalau bukan fan service.
Keputusan untuk tak banyak mengubah desain pokémon, dengan hanya menambahkan detail realis secukupnya (bulu Pikachu, sisik Charizard, dll.), jadi kemenangan terbesar film ini, biarpun di beberapa kesempatan, inkonsistensi CGI cukup kentara. Saya terlempar menuju nostalgia begitu satu per satu wujud familiar memasuki layar, dari Lickitung si lidah panjang, kebuasan Gyarados dan Charizard, Bulbasaur yang menggemaskan, sampai Mr. Mime yang menghadirkan humor paling lucu dan kreatif sepanjang film. Bicara soal komedi, walau agak sulit membiasakan diri mendengar suara Reynolds dari tubuh Pikachu, sang aktor seperti biasa piawai menangani momen komedik, sedangkan Justice Smith sebagai Tim si remaja canggung sukses membangun chemistry solid dengan tokoh-tokoh CGI.
Para penggemar pun pasti sadar bahwa Lucy Stevens (Kathryn Newton) si reporter magang sekaligus pemilik Psyduck yang membantu investigasi Tim dan Pikachu, mengambil inspirasi dari karakter Misty. Referensi-referensi kecil semacam itu memberi hiburan tersendiri, walau kepuasan terbesar berasal saat lagu tema Pokémon terdengar, yang akan membuatmu tergoda ikut bernyanyi bahkan selepas film usai. Penyutradaraan Rob Letterman mungkin belum sepenuhnya memenuhi potensi dalam merangkum pertarungan gila nan imajinatif antara beragam jenis pokémon, tapi selaku pembuka franchise, Pokémon: Detective Pikachu telah bekerja cukup baik.