KUNTILANAK 2 (2019)
Dunia horor lokal belakangan ibarat siswa yang sedang belajar. Prosesnya cukup lambat. Bukan buku demi buku, bukan pula halaman demi halaman, melainkan kalimat demi kalimat. Setelah beberapa waktu, kita akhirnya sampai di fase “mengurangi kuantitas jump scare”. Tapi kita belum mencapai usaha memperbaiki kualitas trik menakut-nakuti, setidaknya tidak secara signifikan. Begitulah ekspektasi yang sebaiknya anda pasang untuk Kuntilanak 2.
Si hantu wanita tituler baru menampakkan taring setelah film menyentuh durasi sekitar 30 menit, dan meski impresi pertama terhadap terornya cukup baik, tidak demikian dengan jalan menuju ke sana. Pasca peristiwa film pertama, para jagoan anak kita kini tinggal di bawah asuhan Donna (Nena Rosier) dan puterinya, Julia (Susan Sameh). Mereka hidup bahagia hingga datang wanita misterius bernama Karmila (Karina Suwandi), mengaku sebagai ibu kandung Dinda (Sandrinna Skornicki).
Ketiadaan bukti membuat Donna meragukan kebenaran pengakuan tersebut, tapi Dinda, yang merindukan kasih sayang seorang ibu, memaksa untuk mengunjungi Karmila. Ditemani bocah-bocah lain juga Julia dan kekasihnya, Edwin (Maxime Bouttier dengan penampilan canggung seperti biasa), Dinda mengunjungi rumah Karmila yang terletak di tengah hutan terlarang. Anda tidak perlu menjadi paranormal kelas satu guna menebak identitas Karmila sesungguhnya.
Naskah buatan Alim Sudio (Surga yang tak Dirindukan, Rumput Tetangga) mengajak kita mengarungi perjalanan panjang sebelum menggedor melalui teror. Walau niatan untuk menyampaikan cerita ketimbang kompilasi jump scare pantas diapresiasi, tanpa atmosfer memadai maupun modal cerita solid, yang hadir hanyalah kekosongan. Sejatinya banyak elemen berpotensi digali, seperti mitologi kuntilanak hingga drama hangat seputar pencarian keluarga, tapi tak satu pun cukup kuat guna mengatrol kualitas film secara signifikan.
Presentasi misteri mengenai identitas Karmila cenderung berupa rekap daripada investigasi sungguhan, drama keluarganya urung memproduksi ikatan batin meyakinkan di antara karakter (khusus aspek ini, film pertamanya lebih baik), sementara elemen mitologinya sebatas aksesoris kecil yang tak kuasa menghembuskan kesegaran bagi cerita maupun teror.
Tapi urusan menakut-nakuti, Kuntilanak 2 mengalami sedikit peningkatan, bahkan layak disebut sebagai horor terbaik yang pernah dirilis tepat di hari lebaran. Membaiknya penyutradaraan Rizal Mantovani (Jelangkung, Kuntilanak, Antologi Rasa) jadi faktor penting penghasil teror solid tak murahan. Sayangnya, setelah penantian panjang, beberapa “teror solid” belum cukup. Film ini butuh situasi “all hell break loose”, juga lebih banyak kreativitas dan dinamika supaya penantian tersebut layak dilalui.
Setidaknya Karina Suwandi kembali memamerkan penampilan mengerikan. Figurnya, dengan rambut lurus hitam panjang serta tatapan dingin, memancarkan aura mencekam sebagaimana saya bayangkan dimiliki oleh sesosok Kuntilanak. Ditambah gestur tak manusiawi yang sebelumnya pernah membuat penonton mencengang di Sebelum Iblis Menjemput, pula riasan ala horor kelas b yang mengingatkan kepada The Evil Dead (1981) kepunyaan Sam Raimi, Kuntilanak versi Karina adalah antagonis yang pantas mendapatkan film lebih baik.
Minimal klimaks yang lebih baik, sebab Kuntilanak 2 punya potensi memberi ride menyenangkan melalui presentasi babak ketiganya. Tapi pesona Karina Suwandi, pula musik garapan Stevesmith Music Production (Mata Batin, Sabrina, Antologi Rasa) yang cakap menyelipkan suara gamelan dalam scoring miliknya, dikecewakan oleh pacing lemah sekaligus ketidakmampuan Rizal Mantovani menjaga intensitas. Klimaksnya pun menjadi perjalanan melelahkan.